Emas
Rabu, 30 Oktober 2013
Senin, 08 Agustus 2011
Gaya Kepemimpinan
Setiap dari diri kita adalah seorang pemimpin, bagi diri sendiri dan juga orang lain. Pada proses kepemimpinan setiap orang akan menghasilkan gaya yang umumnya berbeda satu sama lainnya. Gaya kepemimpinan bisa lalim, dictator ataupun seratus persen individualistik juga bisa mau bekerja sama, terbuka dan berdasarkan pemikiran sehat.
Apakah gaya kepemimpinan itu? Gaya kepemimpinan menjelaskan tentang bagaimana seseorang bertindak dalam konteks organisasi. Cara termudah untuk menggambarkan gaya kepemimpinan adalah dengan menggambarkan jenis organisasi atau situasi yang sesuai dengan gaya tertentu.
Berikut ini disajikan beberapa gaya kepemimpinan :
1. Birokratis
Jenis kepemimpinan seperti ini adalah gaya yang patuh terhadap peraturan. Para pemimpin dengan gaya kepemimpinan birokratis menganggap bahwa segala kesulitan akan dapat diatasi jika setiap orang mematuhi peraturan. Suatu sistem adalah hal yang mutlak ada pada gaya kepemimpinan seperti ini. Jika dikaitkan dengan dunia bisnis, gaya kepemimpinan yang umumnya menggunakan cara kepemimpinan birokratis adalah para birokrat yang berada pada perusahaan negara.
2. Permisif
Pemimpin dengan gaya kepemimpinan permisif akan selalu berkeinginan untuk membuat setiap orang yang berada dalam kelok puas. Gaya ini menganggap bahwa bila orang-orang merasa puas dengan diri mereka sendiri dan orang lain, maka dengan demikian organisasi akan berfungsi. Pemimpin yang permisif menginginkn agar setiao orang merasa senang dalam organisasi. Gaya kepemimpinan seperti ini akan mengurangi turnover karyawan.
3. Laissez Faire Gaya kepemiminan seperti ini membiarkan segalanya berjalan dengan sendirinya. Pemimpin hanya terlibat pada kuantitas kecil di mana para bawahan secara aktif menentukan tujuan dan penyelesaian masalah yang dihadapi. Jarang sekali perusahaan yang menggunakan gaya kepemimpinan seperti ini. Jikalau ada umumnya gaya ini dipakai oleh pemimpin yang sering bepergian atau bertugas sementara. Gaya kepemimpinan ini cocok diberlakukan pada perusahaan konsultan atau auditor.
4. Partisipatif Gaya ini dipakai untuk memotifasi bawahan melalui pelibatan dalam pengambilan keputusan. Pemimpin mengharapkan agar karyawan mampu bekerja sama dalam pencapaian tujuan. Gaya kepemimpinan seperti cocok dilakukan pada perusahaan dimana keputusan harus dilaksanakan bersama.
5. Otokratis
Gaya ini ditandai dengan kebergantingan pada yang berwenang dan menganggap bahwa bawahan hanya akan melakukan sesuatu jika diperintah. Gaya kepemimpinan seperti ini akan tampak seperti dictator. Segala pembagian tugas dan tanggung jawab dipegang oleh si pemimpin yang otoriter tersebut, sedangkan para bawahan hanya melaksanakan tugas yang telah diberikan. Umumnya gaya kepemimpinan seperti ini dilaksanakan pada negara-negara yang menganut asas komunis.
6. Demokratis Kepemimpinan demokratis adalah gaya pemimpin yang memberikan wewenang secara luas kepada para bawahan. Jika ada permasalahan selalu mengikutsertakan bawahan sebagai suatu tim. Pemimpin memberikan banyak informasi tentang tugas serta tanggung jawab para bawahannya
Kepemimpinan dikatakan efektif jika mampu menumbuhkan dan memelihara serta mengembangkan usaha dan iklim kondusif di dalam kehidupan organisasional.
Bennis (dalam Kartono, 1982) memberi batasan kepemimpinan sebagai “… the process by which an agent induces a subordinate to behave in a desired manner” (proses yang digunakan seorang pejabat menggerakkan bawahannya untuk berlaku sesuai dengan cara yang diharapkan). Oleh karena pentingnya peranan kepemimpinan di dalam kehidupan organisasional, ada pakar yang menyebut bahwa “Leadership is getting things done by the others”. Budaya organisasi sebuah kerajaan bisnis umumnya ditentukan pula oleh gaya kepemimpinan dari atasan karena gaya kepemimpinan seorang CEO secara tidak langsung akan membentuk sebuah norma budaya perusahaan secara implisit.
Jika dikaitkan model kepemimpinan Ken Blanchard yang menyatakan bahwa leadership adalah kapasitas untuk mempengaruhi orang lain melalui kekuatan dan Leadership tidak hanya sebatas untuk mendapatkan keuntungan personal atau pencapaian tujuan, leadership harus mempunyai tujuan yang lebih tinggi dari itu. Leadership dapat didefinisikan sebagai proses pencapaian hasil dengan penghargaan, kepedulian dan keadilan. Menjadi seorang pemimpin yang sukses tidak hanya sebatas pada memimpin sebuah organisasi tetapi juga bagaimana menciptakan hubungan dengan pelanggan. Pemimpin yang sukses juga harus memimpin dengan visi seperti yang dilakukan Louis Gerstner Jr. dalam memimpin IBM pada tahun 1993. Pemimpin juga harus tahu bagaimana memimpin karyawan. Jangan terlalu banyak dan terlalu sedikit arahan. Selain itu, pemimpin juga harus meningkatkan kerja tim dan menciptakan lingkungan yang baik. Seperti Robert Greenleaf yang memperkenalkan konsep “servant leadership” pada tahun 1970 dan dipakai oleh Mahatma Gandhi, Dr. Martin Luther King Jr. dan Nelson Mandela.
Kepemimpinan
Stogdill (1974) menyimpulkan bahwa banyak sekali definisi mengenai kepemimpinan. Hal ini dikarenakan banyak sekali orang yang telah mencoba mendefinisikan konsep kepemimpinan tersebut. Namun demikian, semua definisi kepemimpinan yang ada mempunyai beberapa unsur yang sama.
Sarros dan Butchatsky (1996), "leadership is defined as the purposeful behaviour of influencing others to contribute to a commonly agreed goal for the benefit of individual as well as the organization or common good". Menurut definisi tersebut, kepemimpinan dapat didefinisikan sebagai suatu perilaku dengan tujuan tertentu untuk mempengaruhi aktivitas para anggota kelompok untuk mencapai tujuan bersama yang dirancang untuk memberikan manfaat individu dan organisasi. Sedangkan menurut Anderson (1988), "leadership means using power to influence the thoughts and actions of others in such a way that achieve high performance".
Sarros dan Butchatsky (1996), "leadership is defined as the purposeful behaviour of influencing others to contribute to a commonly agreed goal for the benefit of individual as well as the organization or common good". Menurut definisi tersebut, kepemimpinan dapat didefinisikan sebagai suatu perilaku dengan tujuan tertentu untuk mempengaruhi aktivitas para anggota kelompok untuk mencapai tujuan bersama yang dirancang untuk memberikan manfaat individu dan organisasi. Sedangkan menurut Anderson (1988), "leadership means using power to influence the thoughts and actions of others in such a way that achieve high performance".
Berdasarkan definisi-definisi di atas, kepemimpinan memiliki beberapa implikasi. Antara lain:
Pertama: kepemimpinan berarti melibatkan orang atau pihak lain, yaitu para karyawan atau bawahan (followers). Para karyawan atau bawahan harus memiliki kemauan untuk menerima arahan dari pemimpin. Walaupun demikian, tanpa adanya karyawan atau bawahan, kepemimpinan tidak akan ada juga.
Kedua: seorang pemimpin yang efektif adalah seseorang yang dengan kekuasaannya (his or herpower) mampu menggugah pengikutnya untuk mencapai kinerja yang memuaskan. Menurut French dan Raven (1968), kekuasaan yang dimiliki oleh para pemimpin dapat bersumber dari:
- Reward power, yang didasarkan atas persepsi bawahan bahwa pemimpin mempunyai kemampuan dan sumberdaya untuk memberikan penghargaan kepada bawahan yang mengikuti arahan-arahan pemimpinnya.
- Coercive power, yang didasarkan atas persepsi bawahan bahwa pemimpin mempunyai kemampuan memberikan hukuman bagi bawahan yang tidak mengikuti arahan-arahan pemimpinnya
- Legitimate power, yang didasarkan atas persepsi bawahan bahwa pemimpin mempunyai hak untuk menggunakan pengaruh dan otoritas yang dimilikinya.
- Referent power, yang didasarkan atas identifikasi (pengenalan) bawahan terhadap sosok pemimpin. Para pemimpin dapat menggunakan pengaruhnya karena karakteristik pribadinya, reputasinya atau karismanya.
- Expert power, yang didasarkan atas persepsi bawahan bahwa pemimpin adalah seeorang yang memiliki kompetensi dan mempunyai keahlian dalam bidangnya.
Para pemimpin dapat menggunakan bentuk-bentuk kekuasaan atau kekuatan yang berbeda untuk mempengaruhi perilaku bawahan dalam berbagai situasi.
Ketiga: kepemimpinan harus memiliki kejujuran terhadap diri sendiri (integrity), sikap bertanggungjawab yang tulus (compassion), pengetahuan (cognizance), keberanian bertindak sesuai dengan keyakinan (commitment), kepercayaan pada diri sendiri dan orang lain (confidence) dan kemampuan untuk meyakinkan orang lain (communication) dalam membangun organisasi. Walaupun kepemimpinan (leadership) seringkali disamakan dengan manajemen (management), kedua konsep tersebut berbeda.
Perbedaan antara pemimpin dan manajer dinyatakan secara jelas oleh Bennis and Nanus (1995). Pemimpin berfokus pada mengerjakan yang benar sedangkan manajer memusatkan perhatian pada mengerjakan secara tepat ("managers are people who do things right and leaders are people who do the right thing, "). Kepemimpinan memastikan tangga yang kita daki bersandar pada tembok secara tepat, sedangkan manajemen mengusahakan agar kita mendaki tangga seefisien mungkin.
Model-Model Kepemimpinan
Banyak studi mengenai kecakapan kepemimpinan (leadership skills) yang dibahas dari berbagai perspektif yang telah dilakukan oleh para peneliti. Analisis awal tentang kepemimpinan, dari tahun 1900-an hingga tahun 1950-an, memfokuskan perhatian pada perbedaan karakteristik antara pemimpin (leaders) dan pengikut/karyawan (followers). Karena hasil penelitian pada saat periode tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat satu pun sifat atau watak (trait) atau kombinasi sifat atau watak yang dapat menerangkan sepenuhnya tentang kemampuan para pemimpin, maka perhatian para peneliti bergeser pada masalah pengaruh situasi terhadap kemampuan dan tingkah laku para pemimpin.
Studi-studi kepemimpinan selanjutnya berfokus pada tingkah laku yang diperagakan oleh para pemimpin yang efektif. Untuk memahami faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tingkah laku para pemimpin yang efektif, para peneliti menggunakan model kontingensi (contingency model). Dengan model kontingensi tersebut para peneliti menguji keterkaitan antara watak pribadi, variabel-variabel situasi dan keefektifan pemimpin.
Studi-studi tentang kepemimpinan pada tahun 1970-an dan 1980-an, sekali lagi memfokuskan perhatiannya kepada karakteristik individual para pemimpin yang mempengaruhi keefektifan mereka dan keberhasilan organisasi yang mereka pimpin. Hasil-hasil penelitian pada periode tahun 1970-an dan 1980-an mengarah kepada kesimpulan bahwa pemimpin dan kepemimpinan adalah persoalan yang sangat penting untuk dipelajari (crucial), namun kedua hal tersebut disadari sebagai komponen organisasi yang sangat komplek.
Dalam perkembangannya, model yang relatif baru dalam studi kepemimpinan disebut sebagai model kepemimpinan transformasional. Model ini dianggap sebagai model yang terbaik dalam menjelaskan karakteristik pemimpin. Konsep kepemimpinan transformasional ini mengintegrasikan ide-ide yang dikembangkan dalam pendekatan watak, gaya dan kontingensi.
Berikut ini akan dibahas tentang perkembangan pemikiran ahli-ahli manajemen mengenai
model-model kepemimpinan yang ada dalam literatur.
(a) Model Watak Kepemimpinan (Traits Model of Leadership)
Pada umumnya studi-studi kepemimpinan pada tahap awal mencoba meneliti tentang watak
individu yang melekat pada diri para pemimpin, seperti misalnya: kecerdasan, kejujuran,
kematangan, ketegasan, kecakapan berbicara, kesupelan dalam bergaul, status sosial ekonomi
mereka dan lain-lain (Bass 1960, Stogdill 1974).
Stogdill (1974) menyatakan bahwa terdapat enam kategori faktor pribadi yang membedakan antara pemimpin dan pengikut, yaitu kapasitas, prestasi, tanggung jawab, partisipasi, status dan situasi. Namun demikian banyak studi yang menunjukkan bahwa faktor-faktor yang membedakan antara pemimpin dan pengikut dalam satu studi tidak konsisten dan tidak didukung dengan hasil-hasil studi yang lain. Disamping itu, watak pribadi bukanlah faktor yang dominant dalam menentukan keberhasilan kinerja manajerial para pemimpin. Hingga tahun 1950-an, lebih dari 100 studi yang telah dilakukan untuk mengidentifikasi watak atau sifat personal yang dibutuhkan oleh pemimpin yang baik, dan dari studi-studi tersebut dinyatakan bahwa hubungan antara karakteristik watak dengan efektifitas kepemimpinan, walaupun positif, tetapi tingkat signifikasinya sangat rendah (Stogdill 1970).
Bukti-bukti yang ada menyarankan bahwa "leadership is a relation that exists between persons in a social situation, and that persons who are leaders in one situation may not necessarily be leaders in other situation" (Stogdill 1970). Apabila kepemimpinan didasarkan pada faktor situasi, maka pengaruh watak yang dimiliki oleh para pemimpin mempunyai pengaruh yang tidak signifikan. Kegagalan studi-studi tentang kepimpinan pada periode awal ini, yang tidak berhasil meyakinkan adanya hubungan yang jelas antara watak pribadi pemimpin dan kepemimpinan, membuat para peneliti untuk mencari faktor-faktor lain (selain faktor watak), seperti misalnya faktor situasi, yang diharapkan dapat secara jelas menerangkan perbedaan karakteristik antara pemimpin dan pengikut.
(b) Model Kepemimpinan Situasional (Model of Situasional Leadership)
Model kepemimpinan situasional merupakan pengembangan model watak kepemimpinan
dengan fokus utama faktor situasi sebagai variabel penentu kemampuan kepemimpinan. Studi
tentang kepemimpinan situasional mencoba mengidentifikasi karakteristik situasi atau keadaan sebagai faktor penentu utama yang membuat seorang pemimpin berhasil melaksanakan tugas-tugas organisasi secara efektif dan efisien. Dan juga model ini membahas aspek kepemimpinan lebih berdasarkan fungsinya, bukan lagi hanya berdasarkan watak kepribadian pemimpin.
Hencley (1973) menyatakan bahwa faktor situasi lebih menentukan keberhasilan seorang pemimpin dibandingkan dengan watak pribadinya. Menurut pendekatan kepemimpinan situasional ini, seseorang bisa dianggap sebagai pemimpin atau pengikut tergantung pada situasi atau keadaan yang dihadapi. Banyak studi yang mencoba untuk mengidentifikasi karakteristik situasi khusus yang bagaimana yang mempengaruhi kinerja para pemimpin. Hoy dan Miskel (1987), misalnya, menyatakan bahwa terdapat empat faktor yang mempengaruhi kinerja pemimpin, yaitu sifat struktural organisasi (structural properties of the organisation), iklim atau lingkungan organisasi (organisational climate), karakteristik tugas atau peran (role characteristics) dan karakteristik bawahan (subordinate characteristics). Kajian model kepemimpinan situasional lebih menjelaskan fenomena kepemimpinan dibandingkan dengan model terdahulu. Namun demikian model ini masih dianggap belum memadai karena model ini tidak dapat memprediksikan kecakapan kepemimpinan (leadership skills) yang mana yang lebih efektif dalam situasi tertentu.
(c) Model Pemimpin yang Efektif (Model of Effective Leaders)
Model kajian kepemimpinan ini memberikan informasi tentang tipe-tipe tingkah laku (types of behaviours) para pemimpin yang efektif. Tingkah laku para pemimpin dapat dikatagorikan menjadi dua dimensi, yaitu struktur kelembagaan (initiating structure) dan konsiderasi (consideration). Dimensi struktur kelembagaan menggambarkan sampai sejauh mana para pemimpin mendefinisikan dan menyusun interaksi kelompok dalam rangka pencapaian tujuan organisasi serta sampai sejauh mana para pemimpin mengorganisasikan kegiatan-kegiatan kelompok mereka. Dimensi ini dikaitkan dengan usaha para pemimpin mencapai tujuan organisasi. Dimensi konsiderasi menggambarkan sampai sejauh mana tingkat hubungan kerja antara pemimpin dan bawahannya, dan sampai sejauh mana pemimpin memperhatikan kebutuhan sosial dan emosi bagi bawahan seperti misalnya kebutuhan akan pengakuan, kepuasan kerja dan penghargaan yang mempengaruhi kinerja mereka dalam organisasi. Dimensi konsiderasi ini juga dikaitkan dengan adanya pendekatan kepemimpinan yang mengutamakan komunikasi dua arah, partisipasi dan hubungan manusiawi (human relations).
Halpin (1966), Blake and Mouton (1985) menyatakan bahwa tingkah laku pemimpin yang efektif cenderung menunjukkan kinerja yang tinggi terhadap dua aspek di atas. Mereka berpendapat bahwa pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang menata kelembagaan organisasinya secara sangat terstruktur, dan mempunyai hubungan yang persahabatan yang sangat baik, saling percaya, saling menghargai dan senantiasa hangat dengan bawahannya. Secara ringkas, model kepemimpinan efektif ini mendukung anggapan bahwa pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang dapat menangani kedua aspek organisasi dan manusia sekaligus dalam organisasinya.
(d) Model Kepemimpinan Kontingensi (Contingency Model)
Studi kepemimpinan jenis ini memfokuskan perhatiannya pada kecocokan antara karakteristik watak pribadi pemimpin, tingkah lakunya dan variabel-variabel situasional. Kalau model kepemimpinan situasional berasumsi bahwa situasi yang berbeda membutuhkan tipe kepemimpinan yang berbeda, maka model kepemimpinan kontingensi memfokuskan perhatian yang lebih luas, yakni pada aspek-aspek keterkaitan antara kondisi atau variabel situasional dengan watak atau tingkah laku dan kriteria kinerja pemimpin (Hoy and Miskel 1987).
Model kepemimpinan Fiedler (1967) disebut sebagai model kontingensi karena model tersebut beranggapan bahwa kontribusi pemimpin terhadap efektifitas kinerja kelompok tergantung pada cara atau gaya kepemimpinan (leadership style) dan kesesuaian situasi (the favourableness of the situation) yang dihadapinya. Menurut Fiedler, ada tiga faktor utama yang mempengaruhi kesesuaian situasi dan ketiga faktor ini selanjutnya mempengaruhi keefektifan pemimpin. Ketiga faktor tersebut adalah hubungan antara pemimpin dan bawahan (leader-member relations), struktur tugas (the task structure) dan kekuatan posisi (position power).
Hubungan antara pemimpin dan bawahan menjelaskan sampai sejauh mana pemimpin itu
dipercaya dan disukai oleh bawahan, dan kemauan bawahan untuk mengikuti petunjuk pemimpin. Struktur tugas menjelaskan sampai sejauh mana tugas-tugas dalam organisasi didefinisikan secara jelas dan sampai sejauh mana definisi tugas-tugas tersebut dilengkapi dengan petunjuk yang rinci dan prosedur yang baku. Kekuatan posisi menjelaskan sampai sejauh mana kekuatan atau kekuasaan yang dimiliki oleh pemimpin karena posisinya diterapkan dalam organisasi untuk menanamkan rasa memiliki akan arti penting dan nilai dari tugas-tugas mereka masing-masing. Kekuatan posisi juga menjelaskan sampai sejauh mana pemimpin (misalnya) menggunakan otoritasnya dalam memberikan hukuman dan penghargaan, promosi dan penurunan pangkat (demotions).Model kontingensi yang lain, Path-Goal Theory, berpendapat bahwa efektifitas pemimpin ditentukan oleh interaksi antara tingkah laku pemimpin dengan karakteristik situasi (House 1971). Menurut House, tingkah laku pemimpin dapat dikelompokkan dalam 4 kelompok: supportive leadership (menunjukkan perhatian terhadap kesejahteraan bawahan dan menciptakan iklim kerja yang bersahabat), directive leadership (mengarahkan bawahan untuk bekerja sesuai dengan peraturan, prosedur dan petunjuk yang ada), participative leadership (konsultasi dengan bawahan dalam pengambilan keputusan) dan achievement-oriented leadership (menentukan tujuan organisasi yang menantang dan menekankan perlunya kinerja yang memuaskan).
MenurutPath-Goal Theory, dua variabel situasi yang sangat menentukan efektifitas pemimpin adalah karakteristik pribadi para bawahan/karyawan dan lingkungan internal organisasi seperti misalnya peraturan dan prosedur yang ada. Walaupun model kepemimpinan kontingensi dianggap lebih sempurna dibandingkan modelmodel sebelumnya dalam memahami aspek kepemimpinan dalam organisasi, namun demikian model ini belum dapat menghasilkan klarifikasi yang jelas tentang kombinasi yang paling efektif antara karakteristik pribadi, tingkah laku pemimpin dan variabel situasional.
(e) Model Kepemimpinan Transformasional (Model of Transformational Leadership)
Model kepemimpinan transformasional merupakan model yang relatif baru dalam studi-studi kepemimpinan. Burns (1978) merupakan salah satu penggagas yang secara eksplisit mendefinisikan kepemimpinan transformasional. Menurutnya, untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang model kepemimpinan transformasional, model ini perlu dipertentangkan dengan model kepemimpinan transaksional. Kepemimpinan transaksional didasarkan pada otoritas birokrasi dan legitimasi di dalam organisasi. Pemimpin transaksional pada hakekatnya menekankan bahwa seorang pemimpin perlu menentukan apa yang perlu dilakukan para bawahannya untuk mencapai tujuan organisasi. Disamping itu, pemimpin transaksional cenderung memfokuskan diri pada penyelesaian tugas-tugas organisasi.
Untuk memotivasi agar bawahan melakukan tanggungjawab mereka, para pemimpin transaksional sangat mengandalkan pada sistem pemberian penghargaan dan hukuman kepada bawahannya. Sebaliknya, Burns menyatakan bahwa model kepemimpinan transformasional pada hakekatnya menekankan seorang pemimpin perlu memotivasi para bawahannya untuk melakukan tanggungjawab mereka lebih dari yang mereka harapkan. Pemimpin transformasional harus mampu mendefinisikan, mengkomunikasikan dan mengartikulasikan visi organisasi, dan bawahan harus menerima dan mengakui kredibilitas pemimpinnya.Hater dan Bass (1988) menyatakan bahwa "the dynamic of transformational leadership involve strong personal identification with the leader, joining in a shared vision of the future, or goingbeyond the self-interest exchange of rewards for compliance". Dengan demikian, pemimpin transformasional merupakan pemimpin yang karismatik dan mempunyai peran sentral dan strategis dalam membawa organisasi mencapai tujuannya. Pemimpin transformasional juga harusmempunyai kemampuan untuk menyamakan visi masa depan dengan bawahannya, serta mempertinggi kebutuhan bawahan pada tingkat yang lebih tinggi dari pada apa yang mereka butuhkan. Menurut Yammarino dan Bass (1990), pemimpin transformasional harus mampu membujuk para bawahannya melakukan tugas-tugas mereka melebihi kepentingan mereka sendiri demi kepentingan organisasi yang lebih besar.
Yammarino dan Bass (1990) juga menyatakan bahwa pemimpin transformasional mengartikulasikan visi masa depan organisasi yang realistik, menstimulasi bawahan dengan cara yang intelektual, dan menaruh parhatian pada perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh bawahannya. Dengan demikian, seperti yang diungkapkan oleh Tichy and Devanna (1990), keberadaan para pemimpin transformasional mempunyai efek transformasi baik pada tingkat organisasi maupun pada tingkat individu.
Dalam buku mereka yang berjudul "Improving Organizational Effectiveness through Transformational Leadership", Bass dan Avolio (1994) mengemukakan bahwa kepemimpinan transformasional mempunyai empat dimensi yang disebutnya sebagai "the Four I's". Dimensi yang pertama disebutnya sebagai idealized influence (pengaruh ideal). Dimensi yang pertama ini digambarkan sebagai perilaku pemimpin yang membuat para pengikutnya mengagumi, menghormati dan sekaligus mempercayainya. Dimensi yang kedua disebut sebagai inspirational motivation (motivasi inspirasi). Dalam dimensi ini, pemimpin transformasional digambarkan sebagai pemimpin yang mampu mengartikulasikan pengharapan yang jelas terhadap prestasi bawahan, mendemonstrasikan komitmennya terhadap seluruh tujuan organisasi, dan mampu menggugah spirit tim dalam organisasi melalui penumbuhan entusiasme dan optimisme. Dimensi yang ketiga disebut sebagai intellectual stimulation (stimulasi intelektual). Pemimpin transformasional harus mampu menumbuhkan ide-ide baru, memberikan solusi yang kreatif terhadap permasalahan-permasalahan yang dihadapi bawahan, dan memberikan motivasi kepada bawahan untuk mencari pendekatan-pendekatan yang baru dalam melaksanakan tugas-tugas organisasi. Dimensi yang terakhir disebut sebagai individualized consideration (konsiderasi individu). Dalam dimensi ini, pemimpin transformasional digambarkan sebagai seorang pemimpin yang mau mendengarkan dengan penuh perhatian masukan-masukan bawahan dan secara khusus mau memperhatikan kebutuhan-kebutuhan bawahan akan pengembangan karir. Walaupun penelitian mengenai model transformasional ini termasuk relatif baru, beberapa hasil penelitian mendukung validitas keempat dimensi yang dipaparkan oleh Bass dan Avilio di atas. Banyak peneliti dan praktisi manajemen yang sepakat bahwa model kepemimpinan transformasional merupakan konsep kepemimpinan yang terbaik dalam menguraikan karakteristik pemimpin (Sarros dan Butchatsky 1996). Konsep kepemimpinan transformasional ini mengintegrasikan ide-ide yang dikembangkan dalam pendekatan-pendekatan watak (trait), gaya (style) dan kontingensi, dan juga konsep kepemimpinan transformasional menggabungkan dan menyempurnakan konsep-konsep terdahulu yang dikembangkan oleh ahli-ahli sosiologi (seperti misalnya Weber 1947) dan ahli-ahli politik (seperti misalnya Burns 1978).
Beberapa ahli manajemen menjelaskan konsep-konsep kepimimpinan yang mirip dengan kepemimpinan transformasional sebagai kepemimpinan yang karismatik, inspirasional dan yang mempunyai visi (visionary). Meskipun terminologi yang digunakan berbeda, namun fenomenafenomana kepemimpinan yang digambarkan dalam konsep-konsep tersebut lebih banyak persamaannya daripada perbedaannya. Bryman (1992) menyebut kepemimpinan transformasional sebagai kepemimpinan baru (the new leadership), sedangkan Sarros dan Butchatsky (1996) menyebutnya sebagai pemimpin penerobos (breakthrough leadership).
Disebut sebagai penerobos karena pemimpim semacam ini mempunyai kemampuan untuk membawa perubahan-perubahan yang sangat besar terhadap individu-individu maupun organisasi dengan jalan: memperbaiki kembali (reinvent) karakter diri individu-individu dalam organisasi ataupun perbaikan organisasi, memulai proses penciptaan inovasi, meninjau kembali struktur, proses dan nilai-nilai organisasi agar lebih baik dan lebih relevan, dengan cara-cara yang menarik dan menantang bagi semua pihak yang terlibat, dan mencoba untuk merealisasikan tujuan-tujuan organisasi yang selama ini dianggap tidak mungkin dilaksanakan. Pemimpin penerobos memahami pentingnya perubahan-perubahan yang mendasar dan besar dalam kehidupan dan pekerjaan mereka dalam mencapai hasil-hasil yang diinginkannya. Pemimpin penerobos mempunyai pemikiran yang metanoiac, dan dengan bekal pemikiran ini sang pemimpin mampu menciptakan pergesaran paradigma untuk mengembangkan Praktekorganisasi yang sekarang dengan yang lebih baru dan lebih relevan. Metanoia berasaldari kata Yunani meta yang berarti perubahan, dan nous/noos yang berarti pikiran.
Dengan perkembangan globalisasi ekonomi yang makin nyata, kondisi di berbagai pasar dunia makin ditandai dengan kompetisi yang sangat tinggi (hyper-competition). Tiap keunggulan daya saing perusahaan yang terlibat dalam permainan global (global game) menjadi bersifat sementara (transitory). Oleh karena itu, perusahaan sebagai pemain dalam permainan global harus terus menerus mentransformasi seluruh aspek manajemen internal perusahaan agar selalu relevan dengan kondisi persaingan baru.
Pemimpin transformasional dianggap sebagai model pemimpin yang tepat dan yang mampu untuk terus-menerus meningkatkan efisiensi, produktifitas, dan inovasi usaha guna meningkatkan daya saing dalam dunia yang lebih bersaing.
Referensi:
Bass, B.M. and Avolio, B.J., 1994, Improving Organizational Effectiveness through Transformational Leadership, Sage, Thousand Oaks.
Bass, B.M., 1960, Leadership, Psychology and Organizational Behavior, Harper and Brothers, New York.
Bennis, W.G. and Nanus, B., 1985, Leaders: The Strategies for Taking Charge, Harper and Row, New York.
Bryman, A., 1992, Charisma and Leadership in Organizations, Sage, London.
Burns, J.M., 1978, Leadership, Harper and Row, New York.
Fiedler, F.E., 1967, A Theory of Leadership Effectiveness, McGraw-Hill, New York.
French, J. and Raven, B., 1967, 'The basis of social power', in D. Cartwright and A. Zander (eds.), Group
Ketiga: kepemimpinan harus memiliki kejujuran terhadap diri sendiri (integrity), sikap bertanggungjawab yang tulus (compassion), pengetahuan (cognizance), keberanian bertindak sesuai dengan keyakinan (commitment), kepercayaan pada diri sendiri dan orang lain (confidence) dan kemampuan untuk meyakinkan orang lain (communication) dalam membangun organisasi. Walaupun kepemimpinan (leadership) seringkali disamakan dengan manajemen (management), kedua konsep tersebut berbeda.
Perbedaan antara pemimpin dan manajer dinyatakan secara jelas oleh Bennis and Nanus (1995). Pemimpin berfokus pada mengerjakan yang benar sedangkan manajer memusatkan perhatian pada mengerjakan secara tepat ("managers are people who do things right and leaders are people who do the right thing, "). Kepemimpinan memastikan tangga yang kita daki bersandar pada tembok secara tepat, sedangkan manajemen mengusahakan agar kita mendaki tangga seefisien mungkin.
Model-Model Kepemimpinan
Banyak studi mengenai kecakapan kepemimpinan (leadership skills) yang dibahas dari berbagai perspektif yang telah dilakukan oleh para peneliti. Analisis awal tentang kepemimpinan, dari tahun 1900-an hingga tahun 1950-an, memfokuskan perhatian pada perbedaan karakteristik antara pemimpin (leaders) dan pengikut/karyawan (followers). Karena hasil penelitian pada saat periode tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat satu pun sifat atau watak (trait) atau kombinasi sifat atau watak yang dapat menerangkan sepenuhnya tentang kemampuan para pemimpin, maka perhatian para peneliti bergeser pada masalah pengaruh situasi terhadap kemampuan dan tingkah laku para pemimpin.
Studi-studi kepemimpinan selanjutnya berfokus pada tingkah laku yang diperagakan oleh para pemimpin yang efektif. Untuk memahami faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tingkah laku para pemimpin yang efektif, para peneliti menggunakan model kontingensi (contingency model). Dengan model kontingensi tersebut para peneliti menguji keterkaitan antara watak pribadi, variabel-variabel situasi dan keefektifan pemimpin.
Studi-studi tentang kepemimpinan pada tahun 1970-an dan 1980-an, sekali lagi memfokuskan perhatiannya kepada karakteristik individual para pemimpin yang mempengaruhi keefektifan mereka dan keberhasilan organisasi yang mereka pimpin. Hasil-hasil penelitian pada periode tahun 1970-an dan 1980-an mengarah kepada kesimpulan bahwa pemimpin dan kepemimpinan adalah persoalan yang sangat penting untuk dipelajari (crucial), namun kedua hal tersebut disadari sebagai komponen organisasi yang sangat komplek.
Dalam perkembangannya, model yang relatif baru dalam studi kepemimpinan disebut sebagai model kepemimpinan transformasional. Model ini dianggap sebagai model yang terbaik dalam menjelaskan karakteristik pemimpin. Konsep kepemimpinan transformasional ini mengintegrasikan ide-ide yang dikembangkan dalam pendekatan watak, gaya dan kontingensi.
Berikut ini akan dibahas tentang perkembangan pemikiran ahli-ahli manajemen mengenai
model-model kepemimpinan yang ada dalam literatur.
(a) Model Watak Kepemimpinan (Traits Model of Leadership)
Pada umumnya studi-studi kepemimpinan pada tahap awal mencoba meneliti tentang watak
individu yang melekat pada diri para pemimpin, seperti misalnya: kecerdasan, kejujuran,
kematangan, ketegasan, kecakapan berbicara, kesupelan dalam bergaul, status sosial ekonomi
mereka dan lain-lain (Bass 1960, Stogdill 1974).
Stogdill (1974) menyatakan bahwa terdapat enam kategori faktor pribadi yang membedakan antara pemimpin dan pengikut, yaitu kapasitas, prestasi, tanggung jawab, partisipasi, status dan situasi. Namun demikian banyak studi yang menunjukkan bahwa faktor-faktor yang membedakan antara pemimpin dan pengikut dalam satu studi tidak konsisten dan tidak didukung dengan hasil-hasil studi yang lain. Disamping itu, watak pribadi bukanlah faktor yang dominant dalam menentukan keberhasilan kinerja manajerial para pemimpin. Hingga tahun 1950-an, lebih dari 100 studi yang telah dilakukan untuk mengidentifikasi watak atau sifat personal yang dibutuhkan oleh pemimpin yang baik, dan dari studi-studi tersebut dinyatakan bahwa hubungan antara karakteristik watak dengan efektifitas kepemimpinan, walaupun positif, tetapi tingkat signifikasinya sangat rendah (Stogdill 1970).
Bukti-bukti yang ada menyarankan bahwa "leadership is a relation that exists between persons in a social situation, and that persons who are leaders in one situation may not necessarily be leaders in other situation" (Stogdill 1970). Apabila kepemimpinan didasarkan pada faktor situasi, maka pengaruh watak yang dimiliki oleh para pemimpin mempunyai pengaruh yang tidak signifikan. Kegagalan studi-studi tentang kepimpinan pada periode awal ini, yang tidak berhasil meyakinkan adanya hubungan yang jelas antara watak pribadi pemimpin dan kepemimpinan, membuat para peneliti untuk mencari faktor-faktor lain (selain faktor watak), seperti misalnya faktor situasi, yang diharapkan dapat secara jelas menerangkan perbedaan karakteristik antara pemimpin dan pengikut.
(b) Model Kepemimpinan Situasional (Model of Situasional Leadership)
Model kepemimpinan situasional merupakan pengembangan model watak kepemimpinan
dengan fokus utama faktor situasi sebagai variabel penentu kemampuan kepemimpinan. Studi
tentang kepemimpinan situasional mencoba mengidentifikasi karakteristik situasi atau keadaan sebagai faktor penentu utama yang membuat seorang pemimpin berhasil melaksanakan tugas-tugas organisasi secara efektif dan efisien. Dan juga model ini membahas aspek kepemimpinan lebih berdasarkan fungsinya, bukan lagi hanya berdasarkan watak kepribadian pemimpin.
Hencley (1973) menyatakan bahwa faktor situasi lebih menentukan keberhasilan seorang pemimpin dibandingkan dengan watak pribadinya. Menurut pendekatan kepemimpinan situasional ini, seseorang bisa dianggap sebagai pemimpin atau pengikut tergantung pada situasi atau keadaan yang dihadapi. Banyak studi yang mencoba untuk mengidentifikasi karakteristik situasi khusus yang bagaimana yang mempengaruhi kinerja para pemimpin. Hoy dan Miskel (1987), misalnya, menyatakan bahwa terdapat empat faktor yang mempengaruhi kinerja pemimpin, yaitu sifat struktural organisasi (structural properties of the organisation), iklim atau lingkungan organisasi (organisational climate), karakteristik tugas atau peran (role characteristics) dan karakteristik bawahan (subordinate characteristics). Kajian model kepemimpinan situasional lebih menjelaskan fenomena kepemimpinan dibandingkan dengan model terdahulu. Namun demikian model ini masih dianggap belum memadai karena model ini tidak dapat memprediksikan kecakapan kepemimpinan (leadership skills) yang mana yang lebih efektif dalam situasi tertentu.
(c) Model Pemimpin yang Efektif (Model of Effective Leaders)
Model kajian kepemimpinan ini memberikan informasi tentang tipe-tipe tingkah laku (types of behaviours) para pemimpin yang efektif. Tingkah laku para pemimpin dapat dikatagorikan menjadi dua dimensi, yaitu struktur kelembagaan (initiating structure) dan konsiderasi (consideration). Dimensi struktur kelembagaan menggambarkan sampai sejauh mana para pemimpin mendefinisikan dan menyusun interaksi kelompok dalam rangka pencapaian tujuan organisasi serta sampai sejauh mana para pemimpin mengorganisasikan kegiatan-kegiatan kelompok mereka. Dimensi ini dikaitkan dengan usaha para pemimpin mencapai tujuan organisasi. Dimensi konsiderasi menggambarkan sampai sejauh mana tingkat hubungan kerja antara pemimpin dan bawahannya, dan sampai sejauh mana pemimpin memperhatikan kebutuhan sosial dan emosi bagi bawahan seperti misalnya kebutuhan akan pengakuan, kepuasan kerja dan penghargaan yang mempengaruhi kinerja mereka dalam organisasi. Dimensi konsiderasi ini juga dikaitkan dengan adanya pendekatan kepemimpinan yang mengutamakan komunikasi dua arah, partisipasi dan hubungan manusiawi (human relations).
Halpin (1966), Blake and Mouton (1985) menyatakan bahwa tingkah laku pemimpin yang efektif cenderung menunjukkan kinerja yang tinggi terhadap dua aspek di atas. Mereka berpendapat bahwa pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang menata kelembagaan organisasinya secara sangat terstruktur, dan mempunyai hubungan yang persahabatan yang sangat baik, saling percaya, saling menghargai dan senantiasa hangat dengan bawahannya. Secara ringkas, model kepemimpinan efektif ini mendukung anggapan bahwa pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang dapat menangani kedua aspek organisasi dan manusia sekaligus dalam organisasinya.
(d) Model Kepemimpinan Kontingensi (Contingency Model)
Studi kepemimpinan jenis ini memfokuskan perhatiannya pada kecocokan antara karakteristik watak pribadi pemimpin, tingkah lakunya dan variabel-variabel situasional. Kalau model kepemimpinan situasional berasumsi bahwa situasi yang berbeda membutuhkan tipe kepemimpinan yang berbeda, maka model kepemimpinan kontingensi memfokuskan perhatian yang lebih luas, yakni pada aspek-aspek keterkaitan antara kondisi atau variabel situasional dengan watak atau tingkah laku dan kriteria kinerja pemimpin (Hoy and Miskel 1987).
Model kepemimpinan Fiedler (1967) disebut sebagai model kontingensi karena model tersebut beranggapan bahwa kontribusi pemimpin terhadap efektifitas kinerja kelompok tergantung pada cara atau gaya kepemimpinan (leadership style) dan kesesuaian situasi (the favourableness of the situation) yang dihadapinya. Menurut Fiedler, ada tiga faktor utama yang mempengaruhi kesesuaian situasi dan ketiga faktor ini selanjutnya mempengaruhi keefektifan pemimpin. Ketiga faktor tersebut adalah hubungan antara pemimpin dan bawahan (leader-member relations), struktur tugas (the task structure) dan kekuatan posisi (position power).
Hubungan antara pemimpin dan bawahan menjelaskan sampai sejauh mana pemimpin itu
dipercaya dan disukai oleh bawahan, dan kemauan bawahan untuk mengikuti petunjuk pemimpin. Struktur tugas menjelaskan sampai sejauh mana tugas-tugas dalam organisasi didefinisikan secara jelas dan sampai sejauh mana definisi tugas-tugas tersebut dilengkapi dengan petunjuk yang rinci dan prosedur yang baku. Kekuatan posisi menjelaskan sampai sejauh mana kekuatan atau kekuasaan yang dimiliki oleh pemimpin karena posisinya diterapkan dalam organisasi untuk menanamkan rasa memiliki akan arti penting dan nilai dari tugas-tugas mereka masing-masing. Kekuatan posisi juga menjelaskan sampai sejauh mana pemimpin (misalnya) menggunakan otoritasnya dalam memberikan hukuman dan penghargaan, promosi dan penurunan pangkat (demotions).Model kontingensi yang lain, Path-Goal Theory, berpendapat bahwa efektifitas pemimpin ditentukan oleh interaksi antara tingkah laku pemimpin dengan karakteristik situasi (House 1971). Menurut House, tingkah laku pemimpin dapat dikelompokkan dalam 4 kelompok: supportive leadership (menunjukkan perhatian terhadap kesejahteraan bawahan dan menciptakan iklim kerja yang bersahabat), directive leadership (mengarahkan bawahan untuk bekerja sesuai dengan peraturan, prosedur dan petunjuk yang ada), participative leadership (konsultasi dengan bawahan dalam pengambilan keputusan) dan achievement-oriented leadership (menentukan tujuan organisasi yang menantang dan menekankan perlunya kinerja yang memuaskan).
MenurutPath-Goal Theory, dua variabel situasi yang sangat menentukan efektifitas pemimpin adalah karakteristik pribadi para bawahan/karyawan dan lingkungan internal organisasi seperti misalnya peraturan dan prosedur yang ada. Walaupun model kepemimpinan kontingensi dianggap lebih sempurna dibandingkan modelmodel sebelumnya dalam memahami aspek kepemimpinan dalam organisasi, namun demikian model ini belum dapat menghasilkan klarifikasi yang jelas tentang kombinasi yang paling efektif antara karakteristik pribadi, tingkah laku pemimpin dan variabel situasional.
(e) Model Kepemimpinan Transformasional (Model of Transformational Leadership)
Model kepemimpinan transformasional merupakan model yang relatif baru dalam studi-studi kepemimpinan. Burns (1978) merupakan salah satu penggagas yang secara eksplisit mendefinisikan kepemimpinan transformasional. Menurutnya, untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang model kepemimpinan transformasional, model ini perlu dipertentangkan dengan model kepemimpinan transaksional. Kepemimpinan transaksional didasarkan pada otoritas birokrasi dan legitimasi di dalam organisasi. Pemimpin transaksional pada hakekatnya menekankan bahwa seorang pemimpin perlu menentukan apa yang perlu dilakukan para bawahannya untuk mencapai tujuan organisasi. Disamping itu, pemimpin transaksional cenderung memfokuskan diri pada penyelesaian tugas-tugas organisasi.
Untuk memotivasi agar bawahan melakukan tanggungjawab mereka, para pemimpin transaksional sangat mengandalkan pada sistem pemberian penghargaan dan hukuman kepada bawahannya. Sebaliknya, Burns menyatakan bahwa model kepemimpinan transformasional pada hakekatnya menekankan seorang pemimpin perlu memotivasi para bawahannya untuk melakukan tanggungjawab mereka lebih dari yang mereka harapkan. Pemimpin transformasional harus mampu mendefinisikan, mengkomunikasikan dan mengartikulasikan visi organisasi, dan bawahan harus menerima dan mengakui kredibilitas pemimpinnya.Hater dan Bass (1988) menyatakan bahwa "the dynamic of transformational leadership involve strong personal identification with the leader, joining in a shared vision of the future, or goingbeyond the self-interest exchange of rewards for compliance". Dengan demikian, pemimpin transformasional merupakan pemimpin yang karismatik dan mempunyai peran sentral dan strategis dalam membawa organisasi mencapai tujuannya. Pemimpin transformasional juga harusmempunyai kemampuan untuk menyamakan visi masa depan dengan bawahannya, serta mempertinggi kebutuhan bawahan pada tingkat yang lebih tinggi dari pada apa yang mereka butuhkan. Menurut Yammarino dan Bass (1990), pemimpin transformasional harus mampu membujuk para bawahannya melakukan tugas-tugas mereka melebihi kepentingan mereka sendiri demi kepentingan organisasi yang lebih besar.
Yammarino dan Bass (1990) juga menyatakan bahwa pemimpin transformasional mengartikulasikan visi masa depan organisasi yang realistik, menstimulasi bawahan dengan cara yang intelektual, dan menaruh parhatian pada perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh bawahannya. Dengan demikian, seperti yang diungkapkan oleh Tichy and Devanna (1990), keberadaan para pemimpin transformasional mempunyai efek transformasi baik pada tingkat organisasi maupun pada tingkat individu.
Dalam buku mereka yang berjudul "Improving Organizational Effectiveness through Transformational Leadership", Bass dan Avolio (1994) mengemukakan bahwa kepemimpinan transformasional mempunyai empat dimensi yang disebutnya sebagai "the Four I's". Dimensi yang pertama disebutnya sebagai idealized influence (pengaruh ideal). Dimensi yang pertama ini digambarkan sebagai perilaku pemimpin yang membuat para pengikutnya mengagumi, menghormati dan sekaligus mempercayainya. Dimensi yang kedua disebut sebagai inspirational motivation (motivasi inspirasi). Dalam dimensi ini, pemimpin transformasional digambarkan sebagai pemimpin yang mampu mengartikulasikan pengharapan yang jelas terhadap prestasi bawahan, mendemonstrasikan komitmennya terhadap seluruh tujuan organisasi, dan mampu menggugah spirit tim dalam organisasi melalui penumbuhan entusiasme dan optimisme. Dimensi yang ketiga disebut sebagai intellectual stimulation (stimulasi intelektual). Pemimpin transformasional harus mampu menumbuhkan ide-ide baru, memberikan solusi yang kreatif terhadap permasalahan-permasalahan yang dihadapi bawahan, dan memberikan motivasi kepada bawahan untuk mencari pendekatan-pendekatan yang baru dalam melaksanakan tugas-tugas organisasi. Dimensi yang terakhir disebut sebagai individualized consideration (konsiderasi individu). Dalam dimensi ini, pemimpin transformasional digambarkan sebagai seorang pemimpin yang mau mendengarkan dengan penuh perhatian masukan-masukan bawahan dan secara khusus mau memperhatikan kebutuhan-kebutuhan bawahan akan pengembangan karir. Walaupun penelitian mengenai model transformasional ini termasuk relatif baru, beberapa hasil penelitian mendukung validitas keempat dimensi yang dipaparkan oleh Bass dan Avilio di atas. Banyak peneliti dan praktisi manajemen yang sepakat bahwa model kepemimpinan transformasional merupakan konsep kepemimpinan yang terbaik dalam menguraikan karakteristik pemimpin (Sarros dan Butchatsky 1996). Konsep kepemimpinan transformasional ini mengintegrasikan ide-ide yang dikembangkan dalam pendekatan-pendekatan watak (trait), gaya (style) dan kontingensi, dan juga konsep kepemimpinan transformasional menggabungkan dan menyempurnakan konsep-konsep terdahulu yang dikembangkan oleh ahli-ahli sosiologi (seperti misalnya Weber 1947) dan ahli-ahli politik (seperti misalnya Burns 1978).
Beberapa ahli manajemen menjelaskan konsep-konsep kepimimpinan yang mirip dengan kepemimpinan transformasional sebagai kepemimpinan yang karismatik, inspirasional dan yang mempunyai visi (visionary). Meskipun terminologi yang digunakan berbeda, namun fenomenafenomana kepemimpinan yang digambarkan dalam konsep-konsep tersebut lebih banyak persamaannya daripada perbedaannya. Bryman (1992) menyebut kepemimpinan transformasional sebagai kepemimpinan baru (the new leadership), sedangkan Sarros dan Butchatsky (1996) menyebutnya sebagai pemimpin penerobos (breakthrough leadership).
Disebut sebagai penerobos karena pemimpim semacam ini mempunyai kemampuan untuk membawa perubahan-perubahan yang sangat besar terhadap individu-individu maupun organisasi dengan jalan: memperbaiki kembali (reinvent) karakter diri individu-individu dalam organisasi ataupun perbaikan organisasi, memulai proses penciptaan inovasi, meninjau kembali struktur, proses dan nilai-nilai organisasi agar lebih baik dan lebih relevan, dengan cara-cara yang menarik dan menantang bagi semua pihak yang terlibat, dan mencoba untuk merealisasikan tujuan-tujuan organisasi yang selama ini dianggap tidak mungkin dilaksanakan. Pemimpin penerobos memahami pentingnya perubahan-perubahan yang mendasar dan besar dalam kehidupan dan pekerjaan mereka dalam mencapai hasil-hasil yang diinginkannya. Pemimpin penerobos mempunyai pemikiran yang metanoiac, dan dengan bekal pemikiran ini sang pemimpin mampu menciptakan pergesaran paradigma untuk mengembangkan Praktekorganisasi yang sekarang dengan yang lebih baru dan lebih relevan. Metanoia berasaldari kata Yunani meta yang berarti perubahan, dan nous/noos yang berarti pikiran.
Dengan perkembangan globalisasi ekonomi yang makin nyata, kondisi di berbagai pasar dunia makin ditandai dengan kompetisi yang sangat tinggi (hyper-competition). Tiap keunggulan daya saing perusahaan yang terlibat dalam permainan global (global game) menjadi bersifat sementara (transitory). Oleh karena itu, perusahaan sebagai pemain dalam permainan global harus terus menerus mentransformasi seluruh aspek manajemen internal perusahaan agar selalu relevan dengan kondisi persaingan baru.
Pemimpin transformasional dianggap sebagai model pemimpin yang tepat dan yang mampu untuk terus-menerus meningkatkan efisiensi, produktifitas, dan inovasi usaha guna meningkatkan daya saing dalam dunia yang lebih bersaing.
Referensi:
Bass, B.M. and Avolio, B.J., 1994, Improving Organizational Effectiveness through Transformational Leadership, Sage, Thousand Oaks.
Bass, B.M., 1960, Leadership, Psychology and Organizational Behavior, Harper and Brothers, New York.
Bennis, W.G. and Nanus, B., 1985, Leaders: The Strategies for Taking Charge, Harper and Row, New York.
Bryman, A., 1992, Charisma and Leadership in Organizations, Sage, London.
Burns, J.M., 1978, Leadership, Harper and Row, New York.
Fiedler, F.E., 1967, A Theory of Leadership Effectiveness, McGraw-Hill, New York.
French, J. and Raven, B., 1967, 'The basis of social power', in D. Cartwright and A. Zander (eds.), Group
You might also like:
PROSES PENYUSUNAN JOB DESCRIPTION YANG AKURAT
PENGERTIAN JABATAN
- Merupakan fondasi yang membentuk suatu organisasi.
- Seluruh jabatan bila disinergikan bisa mencapai sasaran organisasi.
- Jabatan-jabatan bisa dianggap sebagai jembatan antara orang dan organisasi
PENGERTIAN JOB DESCRIPTION
- Sebuah kumpulan informasi jabatan dan disusun secara sistematis yang diperoleh melalui Job Analysis, yang dapat mengidentifikasi dan menguraikan suatu jabatan atau posisi tertentu.
- Membuat status setiap jabatan menjadi jelas akan: Fungsi & Perannya, Hasilnya, Tanggungjawabnya.
MANFAAT JOB DESCRIPTION
- Membantu atasan dan bawahan mengerti: Mengapa suatu jabatan diadakan dan Apa tujuan utamanya.
- Sebagai Alat Managemen untuk mengintegrasikan fungsi-fungsi : Performance Management, Staffing & Selection, Organization Design, Reward System, Career Development & Training.
ELEMEN-ELEMEN JOB DESCRIPTION
- Job Information
- Primary Job Role
- Dimentions
- Reporting Relationship
- Key Accountabilities
- Relationships
- Knowledge & Skills
- Decision Making
JOB DESCRIPTION WRITING PROCESS
Review Work Process & Organization Structure | Identify Key Responsibilities Through Job Holder Interview | Document Jobs Based On Format | Manager & HR Review and Finalized |
Reviewing Work Process & Organization Structure
- Siapa yang menjadi pelanggan Anda (eksternal/internal)
- Apa saja harapan mereka dari unit kerja Anda.
- Hasil apa yang dapat diberikan oleh Anda /Unit kerja Anda
- Proses, langkah, aktivitas apa saja yang dilakukan untuk menghasilkan Output tersebut.
- Siapakah pemilik proses tersebut.
IDENTIFYING WORK ROLE
- Setelah mempertimbangkan proses kerja dan struktur organisasi, rumuskan : 6 –7 tanggung jawab utama.
- Tanggungjawab utama bisa digali dari 4 DIMENSI
KEUANGAN |
PELANGGAN |
INTERNAL BISNIS PROSES |
PERTUMBUHAN DAN PEMBELAJARAN |
METODOLOGI
- Review struktur organisasi, bisnis proses, prosedur keagenan, Rincian Tugas & Tanggungjawab.
- Wawancara sampling di beberapa Unit kerja Wilayah Jabotabek.
- Group Discussion.
Minggu, 07 Agustus 2011
Tingkatkan Kinerja Perusahaan Melalui Pemetaan SDM
Pemetaan SDM diperlukan untuk menentukan arah pengembangan tenaga kerja ke depan. Oleh karena itu, seorang manajer harus mampu melakukan pemetaan dengan tepat.
Apa yang sebenarnya paling berpengaruh terhadap pengembangan sebuah perusahaan? Salah satu jawabannya adalah sumber daya manusia (SDM). Sayangnya faktor tersebut kerap diabaikan banyak pimpinan atau pemilik perusahaan. Sedikit sekali di antara mereka yang peduli bahkan mungkin mempunyai prespektif kuat terhadap pola pengelolaan SDM.
Melupakan pengelolaan SDM yang tepat bukan hanya terjadi di perusahaan kecil. Perusahaan besarpun kadang kala melupakan hal penting itu. Tak pelak lagi, tanpa disadari SDM kompeten yang mereka miliki, kadangkala hilang begitu saja. Penyebabnya tidak lain karena tidak adanya pengelolaan yang baik.
Itulah mengapa pengelolaan, pemetaan dan, pengembangan SDM harus menjadi poin penting dalam pengembangan organisasi. Konsep dari pengembangan strategi SDM ini harus berhubungan dan mendukung strategi yang dijalankan oleh organisasi. Dalam pandangannya, Stone (2008) menyatakan peran dari seorang manajer human resource (HR) dalam mendesain strategi SDM haruslah meyakinkan untuk manajemen. Strategi SDM-nya harus mampu meningkatkan profitability melalui peningkatan produktivitas karyawan.
Selain mengacu pada profit, pengembangan SDM juga mengacu pada budaya organisasi . Penulis buku strategi human resource management (HRM), Mello (2006) juga menyampaikan teorinya bahwa strategi SDM haruslah berjalan berkesinambungan dengan budaya dan nilai-nilai organisasi.
Konsep strategi SDM yang efektif tentu merupakan tantangan tersendiri bagi HR manager dan HR department. Sikap proaktif untuk menciptakan konsep-konsep strategi pengembangan SDM yang sejalan dengan nilai-nilai organisasi merupakan kuncinya. Apalagi, di dalam dunia kompetisi yang makin berat, kemampuan dan kapasitas SDM organisasi sangat memainkan peran yang sangat penting untuk memenangkan persaingan. Aset SDM adalah asset yang unik dan berbeda di setiap organisasi.
Pemetaan SDM
Salah satu cara yang bisa dilakukan dalam proses pengelolaan SDM adalah pemetaan SDM. Dalam beberapa contoh kasus, perusahaan melakukan pemetaan SDM atau tenaga kerja, agar memperoleh data yang akurat mengenai kemampuan dan potensi yang ada pada setiap karyawan, sehingga penggolongan tingkat karyawan dapat dilakukan secara baik dan benar.
Beberapa perusahaan lain melakukan pemetaan SDM agar bisa diukur hal yang bersifat kualitatif pada seorang karyawan. Misalnya, kecepatan kerja, ketelitian, ketahanan kerja, daya analisis, kepribadian, kepemimpinan, minat pekerjaan serta kesesuaian terhadap job specification dari suatu jabatan.
Pemetaan memang suatu hal yang sangat penting. Terutama bagi para manajer perusahaan untuk mengelompokkan bawahannya, agar diperoleh peta yang tepat perihal potensi dan kompetensi yang tepat. Ini sangat bermanfaat untuk pengembangan SDM ke depan.
Namun di banyak perusahaan, pemetaan SDM tidak berjalan optimal karena selama ini belum ada pengelolaan data yang terintegrasi sehingga tidak dapat diperoleh informasi tepat, guna mendukung keputusan-keputusan yang berkaitan dengan SDM. Beberapa perusahaan lain sudah melakukan meskipun usaha untuk memilah data yang bermanfaat bagi suatu keputusan seringkali tidak tercapai.
Pengambilan data pemetaan ini dilakukan dengan menggunakan berbagai alat ukur psikologi seperti aplikasi inner view maupun fokus group discussion.
Dengan penelitian yang lebih kompleks memang diharapkan data karyawan lebih utuh terlihat.
Empat area kinerja
Ke depan, sebuah organisasi memang harus lebih jeli dalam mengamati dan menganalisis SDM-nya. Sehingga dapat diketahui secara jelas siapa SDM yang benar-benar berkarya dengan baik, inovatif dalam dalam perusahaan, atau malah individu yang tidak banyak berkontribusi dalam organisasi.
Identifikasi yang tepat juga akan mengantarkan organisasi untuk meninjau masalah dari berbagai aspek dan membentuk dasar untuk menyusun pola pengembangan SDM lebih lanjut. Para ahli manajemen membagi tingkat kehidupan atau kinerja SDM yang dimiliki menjadi empat area yaitu area kinerja kosong, area kinerja rendah, area kinerja standar, dan area kinerja puncak.
Dalam area kinerja kosong dan area kinerja rendah, individu di dalamnya tidak memiliki kemauan untuk melakukan sesuatu baik untuk diri sendiri maupun untuk organisasi atau perusahaan. Anggota dari area kinerja rendah memang sedikit lebih baik karena SDM-nya mau melakukan sesuatu tetapi lebih berfokus pada kepentingan dan kepuasan diri sendiri. Tidak banyak yang dapat diharapkan dari anggota area ini. Strategi pengembangan haruslah lebih strategis dan terencana.
Pada area kinerja standar, individu di dalamnya memiliki reputasi yang lebih baik. Biasanya, anggotanya memiliki kontribusi positif bagi organisasi dan memiliki motivasi kerja yang baik. Hanya saja, motivasi mereka lebih banyak ditentukan oleh pengarus eksternal. Tugas perusahaan adalah meningkatkan kinerja kelompok yang sebenarnya masih mempunyai potensi buat dikembangkan.
Sedangkan dalam area kinerja puncak, individu atau kelompok secara konsisten memiliki kinerja prima, memiliki komitmen penuh bagi pencapaian tujuan organisasi dan merasa menjadi bagian dari organisasi. Pada umumnya anggota area ini termotivasi secara intrinsik dan merupakan pekerja self starter. Mereka umumnya menerima tanggung jawab total, menyukai kebebasan dalam melaksanakan kewajiban, dan menyukai adanya mentoring dan coaching dari atasan.
Tugas organisasi terutama para manajernya adalah mencoba mengelompokkan atau memetakan keempat area tersebut. Karena bila dikelompokkan dengan tepat tentu akan bermanfaat untuk menentukan spesifikasi dari pola pengembangan SDM.
Satu area tentu berbeda dengan area lainnya. Misalnya pada area kinerja puncak, memerlukan kekhususan dan teknik yang spesifik bila dibandingkan dengan pengelolaan di area lainnya. Selain itu, harus diperhatikan juga agar organisasi tidak hanya berfokus pada tujuan keseluruhan organisasi saja. Namun tetap harus diperhatikan kepentingan dan harapan setiap anggotanya, dan memahami perubahan karakter SDM sekarang dan proyeksi masa depan.
Dengan pemetaan SDM yang tepat, pada akhirnya diharapkan perusahaan juga dapat menumbuhkan self responsibility tiap anggota organisasi. Sehingga, terbentuk kepemilikan tanggung jawab yang tumbuh dari dalam dan didukung oleh pola pemikiran yang efektif berdasar kompetensi, analisis dan kebijakan yang tepat.
Pada akhirnya, keberhasilan organisasi memang sangat ditentukan oleh kualitas orang-orang yang bekerja di dalamnya. Perubahan lingkungan yang begitu cepat menuntut kemampuan mereka untuk beradaptasi dengan perubahan, menganalisa dampaknya terhadap organisasi dan menyiapkan manajemen sumber daya yang tepat guna menghadapi kondisi tersebut.
Persaingan yang semakin tajam juga membutuhkan sumber daya manusia yang mempunyai kompentensi yang tepat agar mampu memberikan pelayanan yang memuaskan (customer satisfaction) tetapi juga berorientasi pada nilai (customer value). Sehingga organisasi tidak semata-mata mengejar pencapaian produktivitas kerja yang tinggi tetapi lebih pada kinerja dalam proses pencapaiannya.
Perusahan dengan pola pemetaan SDM yang tepat pada akhirnya ingin mencapai hasil tersebut. Dengan pemetaan SDM pula, kinerja organisasi yang menjadi menjadi salah satu tolak ukurnya diharapkan dapat ditingkatkan. Selain itu, bagi para manajer, individu yang dilihat secara unik tadi dapat digunakan untuk memetakan pola perusahaan kedepan dari sisi SDM. Misalnya, siapa yang seharusnya dipromosikan dalam 1-2 tahun ke depan atau siapa individu yang masih bisa dikembangkan.
Keberhasilan perusahaan pada akhirnya memang tercermin dari peningkatan kualitas SDM saat ini dan dalam beberapa tahun ke depan. Hanya perusahaan yang mampu mengembangkan individu yang ada di dalamnya, yang pada akhirnya akan mampu berdiri tegak kemudian berani menghadapi persaingan dengan kepercayaan diri dan memaksimalkan kemampuan diri. Pengembangan SDM yang tepat dan pemetaan SDM yang terorganisir baik, akan menjadi jalan ke kemapanan organisasi. Sudah siap?
Pengertian dan Tugas Manajer
Yang dimaksud dengan manager adalah orang atau seseorang yang harus mampu membuat orang-orang dalam organisasi yang berbagai karakteristik, latar belakang budaya, akan tetapi memiliki ciri yang sesuai dengan tujuan (goals) dan teknologi (technology).
Dan tugas seorang manager adalah bagaimana mengintegrasikan berbagai macam variabel (karakteristik, budaya, pendidikan dan lain sebagainya) kedalam suatu tujuan organisasi yang sama dengan cara melakukan mekanisme penyesuaian.
Adapun mekanisme yang diperlukan untuk menyatukan variabel diatas adalah sebagai berikut:
- Pengarahan (direction) yang mencakup pembuatan keputusan, kebijaksanaan, supervisi, dan lain-lain.
- Rancangan organisasi dan pekerjaan.
- Seleksi, pelatihan, penilaian, dan pengembangan.
- Sistem komunikasi dan pengendalian.
- Sistem reward.
Pengertian Perencanaan SDM
Terdapat berbagai macam pengertian dari perencanaan sumber daya manusia yang didefinisikan oleh para ahli manajemen sumber daya manusia (MSDM), yaitu antara lain sebagai berikut :
- Suatu usaha untuk mengantisipasi perubahan lingkungan bisnis dan permintaan dari suatu organisasi di masa yang akan datang, dan untuk mempersiapkan para karyawan agar dapat memenuhi kepuasan bisnis dari permintaan tersebut.
- Suatu proses di mana manajemen menetukan bagaimana organisasi seharusnya dapat berubah dari posisi yang tetap menjadi posisi yang diinginkan.
(William F. Glueck, 1982:85)
- Suatu proses analisis kebutuhan sumber daya manusia dalam suatu organisasi dan pengembangan sebuah program untuk mencapai tujuan individu maupun organisasi tersebut.
(William H. Cunningham, 1996:347)
Selain tiga pendapat dari para ahli MSDM tersebut, masih banyak lagi para ahli MSDM lain yang memberikan definisi perencanaan sumber daya manusia atau human resousrce planning tersebut, yang tidak dapat kami paparkan satu persatu di sini, mengingat terbatasnya jumlah halaman makalah yang kami buat. Namun, dari berbagai ahli MSDM itu, dapat ditarik kesimpulan oleh Herman Sofyandi pada bukunya “ Manajemen Sumber Daya Manusia ” bahwa :
“Perencanaan Sumber Daya Manusia (human resource planning) merupakan fungsi pertama dalam manajemen SDM dan sebagai bagian dari fungsi perencanaan strategis organisasi yang didefinisikan sebagai suatu proses sistematis dan berkesinambungan dalam menentukan kebutuhan SDM di masa depan baik kuantitas maupun kualitas pada waktu yang tepat, posisi yang tepat, melakukan berbagai pekerjaan yang tepat, dalam jangka panjang guna mengantisipasi perubahan lingkungan dan organisasi serta meminimasi biaya dalam rangka pencapaian tujuan individu dan organisasi. “
Langganan:
Postingan (Atom)